TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-Anak merupakan subjek hukum yang memiliki hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan mendapatkan perlindungan dari kekerasan serta diskriminasi dalam bentuk apapun. Dalam kerangka pembangunan nasional, perlindungan terhadap anak bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga mandat konstitusional yang harus diwujudkan oleh negara. Sekolah, sebagai institusi pendidikan, semestinya menjadi ruang aman bagi anak untuk belajar dan berkembang secara fisik, emosional, maupun intelektual. Akan tetapi, kenyataannya menunjukkan bahwa kekerasan seksual di lingkungan sekolah masih kerap terjadi dan sering kali tidak terdeteksi ataupun tertangani dengan baik. Kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan pendidik maupun sesama peserta didik mencerminkan adanya celah besar dalam sistem perlindungan hukum dan pengawasan institusi pendidikan.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa negara belum optimal dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Kedua pasal tersebut menegaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, perlu tanggung jawab negara dan perlindungan anak terhadap pencegahan kekerasan seksual di lingkungan sekolah merupakan langkah strategis yang harus segera diwujudkan.

Indonesia telah memiliki sejumlah instrumen hukum yang dapat digunakan untuk mencegah dan menindak kekerasan seksual terhadap anak. Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta regulasi sektoral seperti Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Namun demikian, regulasi-regulasi tersebut belum mampu menciptakan sistem yang komprehensif dan efektif dalam melindungi anak dari kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Masih banyak satuan pendidikan yang belum memiliki mekanisme internal yang jelas dalam menangani kasus kekerasan seksual, dan seringkali pihak sekolah memilih menyelesaikan kasus secara internal demi menjaga reputasi institusi, bukan demi keadilan bagi korban.

Di samping itu, tidak sedikit kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan oleh korban karena adanya rasa takut, malu, serta minimnya dukungan psikososial dari lingkungan sekitar. Kondisi ini diperburuk oleh budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat, serta rendahnya kesadaran hukum di kalangan pendidik dan peserta didik. Dalam pendekatan hukum progresif, hukum seharusnya menjadi alat pembebasan dan perlindungan terhadap kelompok rentan, termasuk anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Oleh karena itu, negara memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam penyusunan regulasi, tetapi juga dalam memastikan implementasi hukum yang berpihak kepada korban.

Kewajiban negara untuk melindungi anak dari kekerasan seksual juga sejalan dengan komitmen internasional melalui ratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Komitmen ini menuntut negara untuk menyediakan perlindungan hukum, layanan pemulihan, serta memastikan keadilan bagi korban, termasuk dalam konteks lembaga pendidikan.

Reformasi hukum dalam konteks ini harus dimaknai secara luas, mencakup pembaruan regulasi, penguatan kelembagaan, perubahan pendekatan pendidikan, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di sekolah. Salah satu bentuk reformasi yang mendesak adalah penyusunan kebijakan pendidikan nasional yang berperspektif gender dan perlindungan anak. Pendidikan seksualitas yang sesuai usia dan berbasis hak anak perlu dimasukkan dalam kurikulum sebagai langkah preventif, agar anak memahami hak atas tubuhnya dan mampu mengenali serta melawan bentuk kekerasan yang dialami.

Selain itu, mekanisme pengawasan internal di sekolah harus diperkuat. Setiap sekolah seharusnya memiliki unit atau tim khusus yang menangani laporan kekerasan seksual, dengan jaminan kerahasiaan dan perlindungan terhadap pelapor. Mekanisme ini perlu terhubung langsung dengan lembaga seperti Dinas Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta aparat penegak hukum, guna memastikan adanya tindak lanjut yang konkret dan cepat.

Penanganan kekerasan seksual juga harus menempatkan korban sebagai pusat dari proses hukum, bukan sekadar sebagai alat bukti atau pelengkap administratif. Pemulihan psikologis korban, dukungan hukum, dan pemulihan sosial menjadi hal yang esensial agar korban tidak mengalami trauma berkepanjangan. Di sisi lain, pelaku kekerasan seksual, terutama yang berasal dari kalangan pendidik, harus mendapatkan sanksi tegas yang tidak hanya bersifat pidana, tetapi juga administratif berupa pencabutan hak mengajar secara permanen.

Dalam upaya pencegahan jangka panjang, keterlibatan masyarakat, orang tua, dan komunitas pendidikan menjadi sangat penting. Pendidikan dan pelatihan bagi guru, tenaga kependidikan, serta orang tua terkait pencegahan kekerasan seksual perlu dilakukan secara berkala. Sosialisasi hak-hak anak dan saluran pelaporan harus diupayakan agar anak merasa aman untuk berbicara ketika mengalami atau menyaksikan kekerasan.

Kesimpulan
Lingkungan sekolah yang aman dari kekerasan seksual merupakan bagian dari hak anak yang harus dijamin oleh negara. Kegagalan negara dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di satuan pendidikan sama artinya dengan pengabaian terhadap hak konstitusional anak dan pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang telah diratifikasi. Reformasi hukum dan kelembagaan mutlak diperlukan agar sistem pendidikan nasional benar-benar menjadi tempat yang aman, inklusif, dan adil bagi seluruh anak.

Oleh karena itu, negara harus mengambil langkah-langkah strategis dalam memperkuat perlindungan anak di sekolah, termasuk mempercepat implementasi UU TPKS di sektor pendidikan, membentuk unit pelindung anak di setiap sekolah, serta meningkatkan kapasitas lembaga pendidikan dalam menangani kekerasan seksual. Perlindungan anak tidak bisa ditunda, sebab masa depan bangsa bergantung pada keselamatan dan kesejahteraan anak-anak hari ini.

VB-PUTRA TRISNA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © Varia Banten. All rights reserved. | Best view on Mobile Browser | ChromeNews by AF themes.