Hak Asasi Manusia dan Batasan Kekuasaan Negara dalam Penegakan Hukum Pidana Oleh: Rehan Adiyansyah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang

TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-Penegakan hukum pidana merupakan salah satu pilar utama dalam menjaga ketertiban dan keadilan di sebuah negara. Namun, dalam proses penegakannya, negara melalui aparat penegak hukum memiliki kekuasaan yang besar, yang jika tidak dibatasi dan diawasi, berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) warga negara. Opini hukum ini akan mengkaji pentingnya HAM sebagai batasan kekuasaan negara dalam penegakan hukum pidana, dengan fokus pada dasar hukum, implikasi penangkapan, dan relevansinya dalam konteks Indonesia.

Dasar Hukum Terkait
Prinsip penghormatan terhadap HAM dalam penegakan hukum pidana memiliki landasan kuat dalam konstitusi dan berbagai undang-undang di Indonesia.
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945): UUD 1945 secara tegas mengakui dan menjamin hak asasi manusia sebagai hak dasar setiap warga negara. Pasal 28D ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Lebih lanjut, Pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk1 tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini menjadi landasan filosofis dan konstitusional bahwa kekuasaan negara, termasuk dalam penegakan hukum pidana, tidak boleh absolut dan harus tunduk pada penghormatan HAM.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): KUHAP merupakan lex specialis yang mengatur secara rinci prosedur dan batasan dalam penegakan hukum pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di sidang pengadilan. KUHAP mengandung banyak ketentuan yang bertujuan melindungi hak-hak tersangka/terdakwa, seperti hak untuk didampingi penasihat hukum (Pasal 54 KUHAP), hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang segera oleh hakim (Pasal 50 KUHAP), serta larangan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Ketentuan mengenai jangka waktu penahanan dan syarat-syarat penangkapan juga merupakan bagian dari upaya pembatasan kekuasaan aparat.
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Undang-undang ini lebih lanjut merinci hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh negara, termasuk hak-hak yang relevan dalam konteks hukum pidana seperti hak atas kebebasan pribadi, hak untuk tidak ditangkap sewenang-wenang, dan hak atas proses peradilan yang adil.

Implikasi Penangkapan Terhadap Hak Asasi Manusia.
Penangkapan merupakan tindakan paksa yang paling awal dan langsung menyentuh hak kebebasan seseorang. Oleh karena itu, prosedur dan pelaksanaannya harus sangat ketat dan memperhatikan HAM.
1. Kepatuhan terhadap Prosedur Hukum: Penangkapan harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup dan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam KUHAP. Pasal 18 ayat (1) KUHAP mensyaratkan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan atas dasar perintah tertulis dari penyidik dan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana. Tanpa dasar yang kuat, penangkapan dapat dikategorikan sebagai penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), yang merupakan pelanggaran HAM serius.
2. Hak untuk Diberitahu Alasan Penangkapan: Seseorang yang ditangkap berhak untuk segera diberitahu alasan penangkapannya dan tindak pidana apa yang disangkakan kepadanya. Hal ini sesuai dengan prinsip due process of law dan hak untuk membela diri. Informasi yang jelas memungkinkan individu untuk memahami posisinya dan mengambil langkah hukum yang diperlukan.
3. Hak untuk Didampingi Penasihat Hukum: Salah satu hak paling fundamental saat penangkapan adalah hak untuk segera didampingi penasihat hukum. Pasal 54 KUHAP menyatakan bahwa tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum. Kehadiran penasihat hukum sejak awal penangkapan sangat krusial untuk memastikan hak-hak tersangka terlindungi, mencegah praktik penyiksaan atau intimidasi, serta memastikan bahwa setiap proses pemeriksaan dilakukan sesuai aturan hukum. Tanpa penasihat hukum, tersangka rentan terhadap tekanan dan potensi pelanggaran hak-haknya.
4. Larangan Kekerasan dan Penyiksaan: Aparat penegak hukum dilarang keras melakukan kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi lainnya selama proses penangkapan dan penahanan. Prinsip ini dijamin oleh Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Bukti yang diperoleh melalui penyiksaan tidak sah dan tidak dapat digunakan di pengadilan.
5. Jangka Waktu Penahanan: Penangkapan harus dibatasi oleh jangka waktu tertentu yang ketat. KUHAP mengatur batas waktu penahanan pada setiap tingkatan pemeriksaan untuk menghindari penahanan yang berkepanjangan tanpa kejelasan hukum, yang juga merupakan bentuk pelanggaran HAM.

Penutup
Penegakan hukum pidana yang efektif dan berkeadilan hanya dapat tercapai apabila negara dan aparat penegak hukumnya senantiasa menempatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai prioritas utama. Batasan kekuasaan negara dalam penegakan hukum pidana bukanlah suatu kelemahan, melainkan sebuah kekuatan yang memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan cara yang bermartabat dan manusiawi. Pelanggaran HAM dalam proses penegakan hukum pidana tidak hanya merugikan individu yang menjadi korban, tetapi juga merusak integritas sistem peradilan secara keseluruhan dan mengurangi kepercayaan publik terhadap hukum. Oleh karena itu, pemahaman, internalisasi, dan implementasi prinsip-prinsip HAM oleh seluruh aparat penegak hukum menjadi prasyarat mutlak untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil, transparan, dan akuntabel.

VB-Putra Trisna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *