Etika yang Tergadai di Balik Angka Gaji DPR. Oleh : Fajar Mulya Adhi Pradana-Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang

TANGERANG SELATAN, (variabanten.com)-Dalam ruang sidang yang megah dan penuh simbol legitimasi kekuasaan, sebuah keputusan seringkali lahir tanpa mendengar denyut nadi rakyat. Rapat-rapat yang semestinya menjadi ajang refleksi moral dan pengabdian kepada bangsa, justru berubah menjadi forum transaksi kepentingan yang kian menjauh dari makna luhur demokrasi. Kenaikan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat setelah rapat MPR baru-baru ini adalah cermin paling gamblang tentang bagaimana etika publik, yang seharusnya menjadi ruh penyelenggaraan kekuasaan, telah tergadai oleh angka-angka yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Kita tahu, demokrasi bukan sekadar mekanisme memilih wakil rakyat, melainkan sebuah kontrak moral yang menyatukan rakyat dengan mereka yang diberi mandat. Kontrak itu berdiri di atas fondasi kepercayaan, keadilan, dan tanggung jawab. Ketika wakil rakyat lebih sibuk membicarakan kenaikan gaji ketimbang jeritan rakyat kecil yang masih berjuang melawan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial, maka di situlah kontrak moral itu mengalami kebangkrutan. Keputusan semacam ini mengingatkan kita pada filsafat kekuasaan yang pernah diungkapkan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan, ketika tak dikawal oleh etika, hanya akan melahirkan kerakusan yang dilegalisasi.

Rakyat sesungguhnya tak pernah keberatan jika kesejahteraan wakilnya dijamin layak, sebab memang jabatan publik menuntut pengorbanan. Namun, masalah mendasar bukan terletak pada “besar kecilnya gaji,” melainkan pada “konteks sosial” di mana keputusan itu dibuat. Ketika harga-harga kebutuhan pokok melambung, akses pendidikan masih timpang, kesehatan menjadi barang mahal, dan rakyat harus mengencangkan ikat pinggang setiap hari, keputusan menaikkan gaji DPR hanyalah ironi yang menampar akal sehat. Kenaikan itu bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan simbol dari kepekaan yang tercederai, simbol dari nurani yang dikalahkan oleh kalkulasi kepentingan.

Etika politik mengajarkan bahwa setiap kebijakan publik harus berangkat dari asas keadilan distributif: yang kuat menanggung yang lemah, yang berkuasa berpihak kepada yang tak berdaya. Namun yang kita saksikan hari ini adalah sebaliknya. Kenaikan gaji DPR menampilkan wajah kekuasaan yang semakin jauh dari prinsip moralitas Aristotelian tentang keadilan, di mana yang berhak mendapatkan lebih hanyalah mereka yang sungguh-sungguh menunaikan kewajiban. Pertanyaannya, sudahkah para wakil rakyat menunaikan kewajiban konstitusionalnya dengan baik, sehingga pantas mendapat apresiasi berupa kenaikan gaji?

Krisis kepercayaan terhadap lembaga legislatif kian mendalam, dan keputusan seperti ini hanya memperlebar jurang antara rakyat dengan wakilnya. Di mata publik, kebijakan ini tak lain adalah bentuk abuse of power yang dibungkus legitimasi formal. Ketika hukum hanya diperlakukan sebagai instrumen legalitas tanpa sentuhan etika, maka kebenaran substantif dikalahkan oleh prosedur administratif. Di sinilah kita menemukan paradoks: DPR seolah berjalan sesuai konstitusi, tetapi justru mengkhianati makna konstitusi itu sendiri yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Lebih dari sekadar perdebatan soal angka, isu kenaikan gaji ini adalah ujian moralitas. Ia menguji apakah wakil rakyat masih memiliki keberanian untuk menahan diri, menguji apakah kekuasaan masih dipahami sebagai amanah atau telah menjelma menjadi privilege yang sah digunakan untuk memperkaya diri. Politik kehilangan rohnya ketika kepentingan kolektif bangsa digadaikan demi keuntungan personal. Apa arti nasionalisme yang kerap mereka gaungkan, bila dalam praktiknya justru mengabaikan penderitaan rakyat?

Rakyat membutuhkan wakil yang bukan hanya piawai berbicara di mimbar, tetapi juga mampu meneladani kesederhanaan, merasakan denyut penderitaan, dan menjadikan dirinya bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Kenaikan gaji DPR, pada akhirnya, hanya akan menorehkan luka moral yang semakin memperburuk wajah demokrasi kita. Demokrasi yang kehilangan moral hanyalah prosedur kosong yang tak lagi mampu membangkitkan harapan.

Kini, saatnya kita bertanya dengan jujur: apakah wakil rakyat masih layak disebut sebagai representasi rakyat, ataukah mereka hanyalah representasi dari kepentingan dirinya sendiri? Etika yang tergadai di balik angka gaji DPR adalah peringatan keras, bahwa demokrasi kita sedang menuju titik nadir, jika suara nurani terus ditindih oleh kepentingan material.

VB-Putra Trisna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *