
Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Di tengah derasnya arus pembangunan dan industrialisasi, isu agraria sering kali tidak mendapatkan tempat yang semestinya dalam perhatian publik. Padahal, persoalan agraria bukan sekadar urusan tanah atau kepemilikan lahan, melainkan menyangkut ruang hidup manusia, keberlanjutan ekologis, identitas sosial, serta masa depan pangan bangsa. Karena itu, gagasan “Membumikan Agraria dan Mengagrariakan Bumi” hadir sebagai ajakan moral dan akademik untuk mengembalikan agraria pada posisi strategisnya dalam kehidupan berbangsa.
Membumikan agraria berarti menghadirkan kembali isu agraria ke dalam kesadaran kolektif masyarakat. Selama ini, agraria kerap dianggap sebagai isu teknis yang hanya berkutat pada sengketa lahan atau urusan sertifikasi. Padahal, agraria merupakan fondasi peradaban: tempat manusia bercocok tanam, membangun pemukiman, melakukan aktivitas sosial, memperoleh pangan, serta menentukan arah pembangunan. Ketika kesadaran agraria melemah, maka kemampuan bangsa dalam menjaga ruang hidupnya pun ikut tergerus.
Di banyak wilayah Indonesia, konflik agraria terus berlangsung dan bahkan meningkat. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan perumahan berlangsung masif; hutan berubah menjadi tambang atau perkebunan skala besar; masyarakat adat kehilangan ruang hidup; sementara petani menghadapi ketidakpastian hak atas tanah. Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya membumikan kembali pemahaman agraria di tengah masyarakat. Tanah bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi ruang hidup yang mengandung nilai sosial, ekologis, dan kultural.
Agar agraria benar-benar membumi, masyarakat harus memahami bahwa keberlanjutan pangan sangat bergantung pada keberlanjutan ruang pertanian. Di tengah ancaman krisis pangan global, alih fungsi lahan tanpa kontrol merupakan bentuk pengabaian terhadap masa depan. Membumikan agraria adalah upaya mengingatkan publik bahwa keamanan pangan tidak dimulai dari supermarket, tetapi dari petani, dari sawah, dari tanah yang subur—dari agraria yang dijaga dengan kesadaran.
Sementara itu, mengagrariakan bumi berarti mengelola bumi dengan prinsip-prinsip agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pembangunan tidak boleh berhenti pada pertumbuhan ekonomi semata, melainkan harus memperhatikan keseimbangan ekologis dan kepentingan sosial. Ketika tanah menjadi objek eksploitasi berlebihan, bumi kehilangan kemampuannya untuk menopang kehidupan. Mengagrariakan bumi adalah ajakan untuk memperlakukan bumi sebagai ruang hidup yang harus dilindungi, bukan sekadar dieksploitasi.
Pendekatan ini sejalan dengan tren global yang menempatkan ekologi sebagai pusat kebijakan pembangunan. Di berbagai negara, wacana earth stewardship, food sovereignty, hingga green economy semakin menguat. Indonesia pun harus bergerak ke arah yang sama: menempatkan agraria sebagai pilar utama dalam menghadapi perubahan iklim, krisis pangan, dan degradasi lingkungan.
Untuk itu, membumikan agraria tidak cukup hanya melalui kebijakan. Kesadaran publik harus dibangun melalui pendidikan agraria, diskursus media, penelitian interdiscipliner, hingga gerakan sosial yang berpihak pada keadilan ruang. Media memiliki peran sentral dalam mengangkat isu agraria ke permukaan, tidak hanya dalam konteks konflik, tetapi juga sebagai wacana intelektual yang membentuk cara pandang masyarakat terhadap tanah dan bumi.
Pada akhirnya, membumikan agraria dan mengagrariakan bumi bukan hanya konsep akademik, tetapi agenda peradaban. Dalam konteks global yang semakin rapuh secara ekologis, Indonesia perlu membangun kesadaran agraria sebagai kekuatan strategis untuk melindungi ruang hidup, menjaga keberlanjutan pangan, dan memastikan keseimbangan alam. Kesadaran ini harus tumbuh dari masyarakat, diperkuat oleh kebijakan negara, dan disuarakan melalui media.
Bumi adalah rumah bersama, dan agraria adalah jantung dari kehidupan. Ketika agraria dibumikan dan bumi diagriakan, kita sedang menjaga masa depan bangsa agar tetap bertumpu pada keadilan, keberlanjutan, dan martabat hidup manusia.
VB-Putra Trisna.






