Tangerang Selatan (Varia Banten) – Makna Keringanan Hukum Jangan Sampai Menghilangkan Keadilan Danan Keamanan Dalam Masa Covid-19. Oleh M Daffa Ghazi (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang-Banten).
Covid 19 wabah internasional yang sampai sekarang belum berakhir. Hingga saat kini Lockdown Total Tanpa Batas Waktu menunjukan angka lonjakan kasus Covid 19 di Shanghai-China. China melaporkan lebih dari 20.000 kasus Covid-19 dalam sehari pada Rabu (6/4/2022). Artinya bisa mengancam proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2022 yang ditargetkan pemerintah di angka 4,8% hingga 5,5%. Lockdown-nya Shanghai. Menurut Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistir bisa memberikan dampak yang diterima Indonesia lebih besar dari dampak perang Ukraina-Rusia. Mengingat Indonesia menjalin relasi bisnis yang besar dengan China. Maka adanya lockdown dikawasan China berpengaruh. Indonesia sendiri perlu siap siaga apabila terjadi serangan covid 19 lagi dan lagi. Berbagai varian, gejala tidak boleh diremehkan. Meskipun hingga saat ini Indonesia memiliki berbagai kebijakan diberbagai lini untuk mencegah peningkatan covid 19 namun belum bisa menang melawan covid 19. Banyak korban jiwa, perubahan peraturan yang meringankan bahkan memberatkan, perubahan Sosial Budaya Masyarakat selama Pandemi yaitu mengubah nilai-nilai sosial dan budaya yang berdampak pada perubahan pola pikir serta sikap masyarakat dalam kehidupan sehari-hari untuk menjalankan protokol kesehatahan 5M. Sehingga berbagai kegiatan terganggu pelaksanaannya, dimana biasanya dilakukan dengan leluasa, namun dengan adanya wabah ini belum bisa dilakukan lagi karena semuanya masih terbatas. Bahkan hari besar seperti hari raya atau natal yang sebelumnya disambut dengan meriah, suka cita, dan suasana ramai dan identik dengan mudik berkumpul keluarga besar belum bisa dilakukan. Covid 19 tentunya berdampak pada semua pihak. Untuk itu, harus berpikir rasional agar tidak memanfaatkan keadaan untuk keuntungan pribadi yang merugikan masyarakat. Seperti sebelumnya sebagai makhluk sosial yang hidup bersama-sama saling menghormati, tolong menolong, dan toleransi.
Dalam kondisi yang gonjang-ganjing seperti ini membuat warga Indonesia risau, belum lagi dengan adanya kenaikan BBM, Pajak dan bahan makanan. Indonesia dengan berbagai kebijakan untuk menanggulangi dan mencegah penularan lebih luas Covid-19. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tanggal 31 Maret 2020, pemerintah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kebijakan ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Pada pasal 59 dijelaskan lebih jauh PSBB paling sedikit meliputi; peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Keadaan seperti ini yang diharapkan yaitu produk hukum yang memberikan kepastian, namun masih terdapat produk hukum yang bisa dikatakan meringankan pelaku kejahatan, misalnya dengan adanya Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan surat bernomor M. HH.PK.01.01.01-04 tertanggal 24 Maret 2020. Dalam surat kepada jajaran lapas tersebut, Menteri Hukum dan HAM meminta supaya tidak mengeluarkan dan menerima tahanan di masa wabah tentunya banyak perbedaan pendapat mengenai kebijakan ini. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bahkan menetapkan kebijakan lebih awal. Pada tanggal 30 Maret 2020, dikeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Di tanggal yang sama juga ditetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Kebijakan ini pada dasarnya mempercepat pemberian hak asimilasi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana yang telah menjalani 1/2 masa pidana penjara untuk asimilasi atau yang telah menjalani 2/3 untuk pembebasan bersyarat (hak integrasi). Pertimbangan utamanya adalah kondisi overcrowding di Lapas dan Rumah Tahanan (Rutan) yang menyulitkan penerapan Physical Distancing sebagai salah satu upaya utama di dalam mencegah penularan Covid-19. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan pemberian asimilasi dan integrasi kepada puluhan ribu narapidana tersebut didasari atas alasan kemanusiaan mengingat kapasitas Lapas dan Rutan yang overcrowding. Dilihat dari kebijakan tersebut tentunya meringankan pelaku tindak kejahatan, Hal tersebut bisa mengakibatkan kecemburuan sosial antar narapidanaa, aksi kriminalitas mulai bermunculan. Misalnya kerusuhan di LP Manado tidak mendapatkan asimilasi dan berulahnya beberapa narapidana yang dibebaskan menjadi salah satu bukti. Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, terbukti 12 narapidana melakukan tindak kejahatan kembali (Kompas, 15 April 2020). Kebijakan seperti ini diharapkan memperhatikan aspek keadilan dan efek jera sebagai tujuan pemidanaan. Hal ini sesuai dengan teori pemidanaan relatif yang dikemukakan oleh Muladi, di mana pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat (Muladi 2002: 15). Tujuan pemidanaan dilakukan untuk memperbaiki pelaku agar menjadi baik dan tidak mengulangi kejahatannya kembali. (VB-BS).