SERANG, (variabanten.com) – Beginilah wajah dunia bisnis ketika moral ditukar dengan kalkulasi. Barang sudah dikirim dan diterima sesuai pesanan, rusak pun sudah diganti, garansi dua tahun disediakan, tapi pembayaran justru ditahan dengan alasan menunggu masa garansi berakhir. Ironis, kontrak yang mestinya jadi dasar kepastian justru dijadikan kertas hias belaka. Ketika diingatkan, yang muncul bukan rasa tanggung jawab, tapi sikap apologi, bersembunyi di balik jargon kehati-hatian, padahal yang dimainkan adalah penundaan yang disengaja.
Dalam hukum perdata, ini jelas wanprestasi, pelanggaran terhadap Pasal 1243 KUHPerdata. Supplier sudah memenuhi prestasi, bahkan menunjukkan good faith dengan memberi garansi. Menunda pembayaran tanpa dasar kontraktual bukan hanya melanggar kesepakatan, tapi juga menampar asas itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata) yang menjadi ruh setiap perikatan. Bila ini terus dibiarkan, maka kontrak kehilangan makna, dan bisnis berubah menjadi arena tipu daya legal.
Lebih jauh, bila penundaan itu dilakukan dengan niat menekan supplier atau menunda pembayaran demi keuntungan sepihak, maka bukan mustahil unsur pidana pun ikut bermain. Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan bisa mengintai di balik dalih “menunggu garansi.” Karena sejatinya, ketika niat buruk sudah menjadi pangkal perbuatan, maka pelanggaran perdata bisa bertransformasi menjadi kejahatan ekonomi.
Garansi seharusnya menjadi simbol tanggung jawab moral produsen terhadap kualitas barang, bukan tameng bagi pembeli untuk menahan hak orang lain. Tapi di negeri ini, sering kali yang rusak bukan hanya barangnya, melainkan nurani dalam bertransaksi. Di tengah euforia modernitas dan jargon bisnis etis, sikap saling percaya justru menjadi barang langka.
Jangan heran bila dunia usaha kian kering makna. Ketika kontrak hanya dibaca sebatas teks, bukan komitmen; ketika garansi dijadikan alibi, bukan etika; maka yang tersisa hanyalah kepentingan telanjang. Dan saat kepercayaan mati, hukumlah yang dipanggil untuk membangunkannya meski terkadang, yang membangunkan itu justru sudah tertidur dalam apologi yang sama.
Ketika garansi dijadikan alasan untuk menahan hak orang lain, maka yang rusak bukan lagi produk, tapi integritas. Ketika kontrak diabaikan dengan dalih “kehati-hatian,” maka yang hancur bukan sekadar kepercayaan bisnis, tapi pilar hukum perikatan itu sendiri.
(*/Sf).