Tangerang Selatan (Varia Banten) Resiko Cadet PKL (Praktek Kerja Laut) Tanpa PKL (Perjanjian Kerja Laut) Oleh Dyra Mayang Sukhma (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang, Banten).
Cadet, masih banyak masyarakat awam yang tidak mengetahui tentang cadet. Bahkan Awak Kapal pun masih belum menyadari kedudukan cadet yang semestinya, mereka sering menyalah artikan bahwa cadet hanya awak kapal yang sedang praktek. Perlu diketahui terlebih dahulu di atas kapal ada 2 jenjang Hirarki yaitu Officer dan Awak kapal. Sedangkan cadet setelah menyelesaikan masa studi nya dia akan menjadi officer diatas kapal. Tentunya kapal bisa berjalan dengan seyogyanya apabila memiliki officer yang hebat dan dimulai dari cadet.
Lantas bagaimana jika ekspektasi tidak sesuai dengan dinamika di lapangan? Cadet yang seharusnya mempraktekkan apa yang didapat selama perkuliahan yaitu belajar kepemimpinan, belajar menghadapi keadaan darurat dan menjadi tenaga ahli agar keselamatan dan keamanan pelayaran dapat terwujud. Namun kenyataanya tidak seperti itu.
Terdapat sekitar 50 sekolah pelayaran di Indonesia, baik berbentuk perguruan tinggi, sekolah tinggi, politeknik, sekolah menengah kejuruan (SMK), terbilang jumlah yang tidak sedikit. Bukan hanya segelintir taruna yang membutuhkan Praktek Kerja Laut untuk mendapatkan sertifikat agar diakui sebagai pelaut. Mereka berbondong-bondong mencari perusahaan pelayaran untuk mendapatkan tempat praktek. Namun sayangnya banyak agen perusahan pelayaran baik ship owner maupun ship management yang tidak memberikan jaminan sepantasnya. Cadet yang naik diatas kapal berbendera Indonesia mendapat kesenjangan dengan cadet yang praktek di perusahaan asing. Kesenjangan yang dimaksud yaitu cadet tidak mendapatkan jaminan tertulis. Padahal Indonesia sudah terdaftar sebagai anggota ILO (International Labour Organization) yang semestinya mengacu pada pilar-pilar international. Indonesia telah meratifikasi MLC melalui UU No.15 tahun 2016 yang telah disahkan Presiden Jokowi pada 6 Oktober 2016 lalu. MLC 2006 merupakan Pilar international perlindungan untuk pelaut. Disahkannya UU tersebut diharapkan dapat memperkuat perlindungan pelaut. Seharusnya, ketika sudah meratifikasi Indonesia mau tidak mau menerapkan dan mempertegas aturan tersebut. Setidaknya Ada 5 tema (klausul) yang dibahas dalam MLC 2006 yang berisi persyaratan-persyaratan yang kesemuanya dibuat untuk melindungi hak pelaut. Dengan diberlakukannya Permenhub 58/2021, maka ketentuan ketentuan dalam MLC dapat diaplikasikan dalam hukum Indonesia, sehingga dapat memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak pelaut dan awak kapal Indonesia yang bekerja di atas kapal berbendera Indonesia tentunya untuk cadet.
Di Indonesia, terdapat dua produk hukum yang mengatur tentang pemagangan, yaitu Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 36 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan pekerjaan rumahan. Namun belum mencakup didalamnya mengenai peraturan cadet, karena pada kenyataannya cadet diperlakukan sebagai awak kapal yang paling rendah serta tidak ada jaminan berupa Perjanjian kerja laut seperti awak kapal lainnya.
Perlu adanya penegasan terhadap taruna pelayaran yang melakukan praktek kerja laut. Cadet yang melakukan praktek wajib diberikan payung hukum yang mengacu pada Maritime Labour Convention (MLC) 2006 yaitu mengenai standar pedoman bagi setiap negara dan pemilik kapal untuk menyediakan lingkungan kerja yang nyaman dan aman bagi pelaut.
Penegasan payung hukum terhadap Cadet mungkin saat ini bisa dikatakan terlambat karena sudah banyak cadet yang menjadi korban misalnya seperti kekerasan luka ringan bahkan meninggal, pelecehan seksual, jaminan yang tidak terpenuhi, minimnya jam istirahat. Namun tidak ada kata terlambat, masih banyak cadet-cadet generasi mendatang yang sangat membutuhkan UU Perlindungan ini, untuk menghindari kekerasan, mendapat jaminan asuransi kecelakaan, jam kerja serta beban pekerjaan.
Dalam UU belum ada yang mengatur mengenai PPIC penanggung jawab terhadap cadet. Sehingga perlu adanya peraturan yang mewajibkan perusahaan pelayaran memberikan training maupun aturan tertulis untuk menjelaskan penanggung jawab cadet.
Isi perjanjian tertulis mengenai pemagangan secara umum telah diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Permenaker Nomor 6 Tahun 2020, perjanjian tertulis ini memuat:
1. Hak dan kewajiban peserta magang
2. Hak dan kewajiban penyelenggara pembelajaran
3. Program pembelajaran
4. Masa belajar
5. Jumlah tunjangan.
Apabila tidak terpenuhi dan terwujudnya payung hukum dalam bentuk Perjanjian Kerja Laut (PKL) maka banyak sekali cadet yang tidak mendapatkan haknya. Ketika cadet naik diatas kapal misalnya kapal Gas, setiap waktu hidup seperti diatas bom yang siap meledak kapan saja. Ilustrasi tersebut bisa dibayangkan betapa resikonya hidup diatas kapal. Kapal bisa tenggelam kapan saja, kebakaran, badai, kandas, hingga menghilangkan korban . Salah satu contoh kejadian MV Nur Aliyah yang tenggelam tahun 2019, tindak kekerasan penganiayaan diatas kapal cargo MV.Sarah S Tonase 31.872 milik PT. Gurita Lintas Samudera Jakarta sua cadet Dino Dwi Adiansah dan Abdul Aziz Samad pada saat kejadian sedang melaksanakan praktek kerja laut. Mereka tidak mendapatkan asuransi dikarenakan saat naik kapal mereka tidak mendapatkan PKL dan jaminan-jaminan yang semestinya didapatkan.
Semoga dengan adanya opini ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk berbagai pihak yang terlibat selain itu cadet mendapatkan hak yang sama dihadapan hukum. Walaupun statusnya hanya praktek namun cadet juga berada diatas kapal, di situasi yang sama dengan Awak kapal lainnya. Keadaan darurat diatas kapal bisa menimpa siapa saja dan tidak terpungkiri cadet juga bisa mendapat bahaya yang sama.(VB-BS).