Menegakkan Keadilan dengan Hati yang Waras, oleh Margiono Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang

SERANG, (Variabanten.com) – Keadilan sering kali terasa dingin di ruang sidang. Hukum dibacakan dengan tegas, pasal-pasal ditegakkan dengan disiplin, tetapi rasa keadilan kerap tertinggal di luar gedung pengadilan. Inilah paradoks hukum modern kita: hukum berjalan dengan logika, tapi kehilangan hati.

Padahal, keadilan sejati tidak cukup ditegakkan dengan kecerdasan intelektual. Ia juga menuntut keseimbangan moral dan ketenangan batin para penegaknya. Seorang hakim atau jaksa bukan mesin hukum; mereka manusia yang bisa lelah, cemas, dan tertekan. Ketika kondisi batin mereka tidak stabil, obyektivitas pun mudah terganggu, dan keadilan menjadi kabur.

Selama ini, hukum di Indonesia masih banyak bertumpu pada warisan positivisme. Pandangan Hans Kelsen tentang pure theory of law menempatkan hukum sebagai sistem norma yang steril dari moral dan agama. Paradigma ini menekankan kepastian, tetapi sering mengabaikan rasa keadilan. Padahal, di balik setiap perkara hukum, selalu ada manusia dengan luka dan harapan.

Karena itu, dunia hukum kini mulai bergerak menuju paradigma human-centered justice, keadilan yang berpusat pada manusia. Pendekatan ini mengakui bahwa hukum tidak bisa berjalan sendiri. Ia harus bersinergi dengan ilmu sosial, psikologi, dan filsafat moral untuk memahami perilaku dan motivasi manusia secara utuh.

Keseimbangan psikis dan spiritual menjadi kunci penting. Penegak hukum yang stabil secara mental akan lebih tenang dalam menimbang perkara. Sebaliknya, mereka yang tertekan emosinya mudah tergoda oleh kepentingan dan kekuasaan. Di sinilah pentingnya integrasi antara ilmu, moral, dan spiritualitas dalam penegakan hukum.

Nilai spiritual sebenarnya bukan hal asing dalam dunia hukum. Islam, misalnya, menekankan bahwa keadilan harus disertai kebajikan. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90). Ayat ini menegaskan bahwa hukum tidak hanya urusan pasal, tetapi juga tanggung jawab moral dan kemanusiaan.

Selain itu, konsep restorative justice yang kini banyak diterapkan menunjukkan bahwa hukum bisa menjadi sarana pemulihan, bukan sekadar hukuman. Pendekatan ini sejalan dengan nilai spiritual: mencari perdamaian dan memperbaiki hubungan sosial, bukan hanya membalas kesalahan.

Integrasi ilmu, moral, dan spiritualitas bukan sekadar idealisme. Ia adalah kebutuhan nyata agar hukum tidak kehilangan jiwanya. Sebab hukum tanpa hati hanyalah teks, sementara keadilan tanpa empati hanyalah prosedur.

Pada akhirnya, menegakkan hukum berarti menegakkan kemanusiaan. Dan keadilan sejati hanya dapat lahir dari hati yang waras.VB-sf.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *