Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Sejak disahkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara isu dwi fungsi ABRI yang saat ini menjadi TNI/Polri menyeruak kembali, bagaimana tidak dalam salah satu pasal dalam undang-undang tersebut memberikan ruang untuk kembalinya TNI/Polri menduduki jabatan sipil dalam birokrasi walaupun untuk jabatan tertentu. Seharusnya terbitnya terbitnya undang-undang baru tentang Aparatur Sipil Negara dijadikan upaya penyempurnaan administrasi kepagawaian yang perlu terus dikembangkan dan disempurnakan dalam segala aspek guna mewujudkan adanya aparatur pemerintahan yang tanggap, cepat, professional dan melayani juga bersih berwibawa bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Harapan pasca reformasi menghendaki pemerintah sipil kuat jangan karena pengelolaan stabilitas politik yang buruk mencoba menarik-narik militer kedalam pemerintahan sipil dengan alasan manajemen talenta padahal untuk menopang stabilitas politik. Pemerintahan sipil saat ini cukup kuat untuk membuat birokrasi yang profesional dan kompeten sehingga percepatan reformasi birokrasi serta penerapan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen Aparatur Sipil Negara bisa terwujud. Dengan adanya peluang untuk menduduki jabatan sipil sehingga TNI/Polri tidak lagi hanya mengerjakan tugas utamanya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, tetapi kerja-kerja administratif dan sosial-politik lainnya. Pembatasan terhadap penempatan TNI/Polri pada jabatan sipil menjadi salah satu persoalan dalam upaya reformasi TNI/Polri pascareformasi. Di tengah upaya penguatan reformasi TNI/Polri, penempatan militer di ranah sipil masih terjadi pascareformasi karena Undang Nomor Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia memberikan ruang untuk itu, namun pada jabatan tertentu disebutkan secara eksplisit yang tidak perlu ditafsirkan lagi yaitu pada pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negera pada pasal 19 ayat 2 “Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari (a) prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan (b) anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada pasal ini yang menjadi titik masuk TNI/Polri dapat menduduki jabatan sipil. Seharusnya dalam pasal tersebut tidak berbunyi Jabatan ASN tertentu, harusnya disebutkan langsung sebagaimana Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 47 ayat 2: “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.” Walaupun pada pasal 19 ayat 3 nya ketentuan sebagai berikut “Pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik lndonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Artinya ketentuan dalam undang-undang Aparatur Sipil Negera yang mengatur jabatan tertentu yang boleh diisi oleh prajurit TNI/Polri akan terus menerus mengikuti undang-undang TNI/Polri walaupun undang-undang TNI/Polri mengalami perubahan. Saat ini Baleg (Badan Legislatif) DPR RI sedang membahas tentang undang-undang TNI/Polri walaupun diberhentikan pembahasan oleh Baleg dan akan dilanjutkan pembahasannya oleh DPR periode berikutnya (parlementaria, red) dan tidak menutup kemungkinan pembahasan perubahan undang-undang TNI/Polri akan memperluas jabatan-jabatan sipil yang boleh diduduki prajurit TNI/Polri dengan pertimbangan jabatan-jabatan tersebut berkaitan dengan pertahanan dan keamanan. Sehingga ketentuan Jabatan tertentu yang boleh diisi TNI/Polri menjadi tersandra oleh peraturan perundagan yang lain.
Dalam sistem hierarki perundang-undangan berlaku postulat “Lex superiori derogat legi inferiori” artinya peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Asas ini berlaku pada dua peraturan yang hierarkinya tidak sederajat dan saling bertentangan mengingat Menurut ketentuan pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menerangkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 19 ayat 2 sebagai berikut: Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari: (a) prajurit Tentara Nasioal Indonesia, dan (b) anggota Kepolisian Negera Republik Indonesia. menurut padangan penulis pasal tersebut akan bertentangan dengan pasal 2 ayat 1 dan 2 TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 Tahun 2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri sebagai berikut: (1) Tentara Nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara. (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Jika jabatan ASN tertentu tersebut tidak berkaitan berkaitan langsung dengan tugas pertahanan dan keamanan yang identik dengan TNI/Polri.
Perlu kita ingat ketentuan penutup Undang-Undang Nomor 20 Tentang Tentang Aparatur Sipil Negara masih memberlakukan aturan kepegawaian sebelumnya karena aturan pelaksananya belum terbit. Jika suatu instansi sipil baik kementerian atau organisasi perangkat daerah tetap menghendaki dan membutuhkan pejabat yang dari anggota TNI/Polri, maka dapat menempuh dengan cara sebagai berikut: (1) Anggota TNI/Polri yang menduduki jabatan struktural atau jabatan pimpinan tinggi di instansi sipil harus berhenti dari dinas aktif keprajuritan dan dialihkan statusnya menjadi Pegawai Negeri Sipil. (2) Pejabat struktural atau jabatan pimpinan tinggi yang berasal dari TNI/Polri yang telah pensiun atau mengundurkan diri sesuai dengan skema rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Upaya tersebut bentuk membatasi peran TNI/Polri dalam pemerintahan sipil namun pengamat yang lain berpendapat berbeda hal tersebut masih upaya menghidupkan kembali dwi fungsi walaupun anggota TNI/Polri menanggalkan keprajuritannya dengan pengunduran diri atau pensiun.
Dwi funsgi ABRI yang kini TNI/Polri adalah sejarah dan masa lalu, saatnya negara ini melalui politik hukumnya menempatkan posisi sipil dan militer pada proporsinya. Pemisahan antara militer dan sipil melalui penghapusan dwi fungsi ABRI diharapkan dapat memisahkan antara peran militer dan sipil dalam pemerintahan sesuai proporsi. Hal ini penting untuk memastikan bahwa militer fokus pada tugas pokoknya sebagai pengaman dan pertahanan negara.VB-Putra Trisna.
Sebuah artikel dari sudut pandang seorang mahasiswa Hukum yang sangat tekstual dan relevansi dengan apa yang saat ini menjadi kekhawatiran semua pihak,sebuah bacaan yang sangat menarik dan menambah wawasan kita semua.