PENDAHULUAN
Dalam era transformasi digital, Pemerintah Indonesia melalui Kepolisian Republik Indonesia meluncurkan sistem Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) sebagai metode modern penegakan hukum di bidang lalu lintas. Sistem ini mulai diperkenalkan secara bertahap sejak tahun 2019 dan diresmikan penerapan nasionalnya pada 23 Maret 2021, yang ditandai dengan peluncuran ETLE nasional tahap I di 12 Polda oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Tujuan utama dari penerapan ETLE adalah menciptakan sistem penegakan hukum lalu lintas yang transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik penyimpangan seperti pungli atau diskriminasi petugas di lapangan. Namun, terlepas dari manfaatnya, sistem ini menyimpan potensi subjektivitas hukum, terutama ketika pelanggaran hanya diidentifikasi melalui plat nomor kendaraan, bukan pelaku yang sebenarnya.
ALUR PROSES TILANG ELEKTRONIK (ETLE)
Proses penindakan pelanggaran lalu lintas melalui ETLE meliputi tahapan berikut:
1. Perekaman Pelanggaran Kamera ETLE—baik statis (dipasang di traffic light atau jalan utama) maupun mobile (dipasang di kendaraan patroli)—secara otomatis merekam pelanggaran lalu lintas, seperti menerobos lampu merah, melanggar marka, tidak memakai helm/sabuk pengaman, dan menggunakan ponsel saat berkendara.
2. Verifikasi Petugas Petugas ETLE di back office melakukan verifikasi visual terhadap bukti pelanggaran (foto/video), untuk memastikan keabsahan pelanggaran sebelum sistem mengeluarkan notifikasi.
3. Pengiriman Surat Konfirmasi Berdasarkan plat nomor kendaraan yang terekam, sistem mengakses database Samsat untuk memperoleh data pemilik kendaraan. Surat konfirmasi pelanggaran lalu lintas dikirim ke alamat sesuai STNK.
4. Konfirmasi Oleh Pemilik Pemilik kendaraan diberikan waktu 8 hari untuk melakukan konfirmasi melalui laman ETLE (etle-pmj.info atau etle-korlantas.info) untuk mengakui pelanggaran, menyanggah, atau mengajukan bukti bahwa ia bukan pengemudi saat kejadian.
5 Penerbitan Surat Tilang dan Pembayaran Setelah konfirmasi, sistem menerbitkan e-tilang. Pelanggar dapat membayar denda melalui virtual account BRI atau lembaga perbankan lain yang bekerja sama.
6. Pemblokiran STNK Jika tidak dilakukan konfirmasi atau pembayaran, STNK kendaraan akan diblokir saat perpanjangan pajak, sebagai sanksi administratif.
PERMASALAHAN HUKUM: SUBJEKTIVITAS BERDASARKAN IDENTIFIKASI PLAT NOMOR
Masalah utama dalam sistem ETLE adalah asas pertanggungjawaban yang tidak jelas. Dalam sistem ini, pelanggar dianggap sebagai pemilik kendaraan, karena satu-satunya basis identifikasi adalah plat nomor. Padahal, dalam praktik umum:
• Kendaraan sering dipinjamkan antar keluarga/teman.
Kendaraan perusahaan digunakan oleh banyak karyawan.
• Kendaraan bisa saja dipakai oleh anak di bawah umur tanpa sepengetahuan orang tua.
• Dalam kasus seperti ini, pemilik kendaraan menerima konsekuensi hukum tanpa benar-benar menjadi pelaku, yang menimbulkan pelanggaran terhadap asas individual liability dalam hukum pidana dan administratif.
DASAR HUKUM TERKAIT
1. Pasal 267 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan:
“Alat elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti dalam penegakan hukum lalu lintas.”
→ Namun, tidak ada ketentuan yang menyebut bahwa pemilik kendaraan otomatis dianggap pelaku pelanggaran.
2. Pasal 55 KUHP (tentang pelaku dan peserta tindak pidana):
Menekankan bahwa hanya pelaku langsung atau pihak yang terlibat aktif yang dapat dikenai sanksi pidana.
3. Peraturan Polri No. 5 Tahun 2021 tentang Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dengan ETLE:
Memberikan prosedur pengiriman surat tilang berdasarkan identifikasi kendaraan, bukan pengendara.
4. Asas Legalitas dan Kepastian Hukum (Pasal 1 ayat (1) KUHP):
Hukum pidana harus diterapkan secara ketat dan pasti, termasuk siapa yang dapat dipidana.
TEORI HUKUM YANG RELEVAN
1. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Seseorang hanya bisa dipidana jika ia melakukan actus reus (perbuatan pidana) dan memiliki mens rea (niat jahat). Pemilik kendaraan yang tidak sedang mengemudi tidak memenuhi dua unsur ini.
2. Teori Keadilan Substantif (Satjipto Rahardjo)
Keadilan bukan hanya bersifat prosedural, tetapi juga harus substantif. Penerapan hukum harus memperhatikan konteks dan aktor yang sebenarnya.
3. Teori Efektivitas Hukum (Lawrence M. Friedman)
Sistem hukum akan efektif bila struktur, substansi, dan budaya masyarakat mendukung. ETLE memiliki struktur (teknologi), substansi (regulasi), namun budaya hukum masyarakat (misalnya, keterbukaan dan hak klarifikasi) belum sepenuhnya terbentuk.
ANALISIS DARI LITERATUR AKADEMIK
Dalam jurnal “Efektivitas Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) dalam Penegakan Hukum Lalu Lintas” oleh Vita Mayaasari (2022), disorot bahwa:
Pelanggaran lalu lintas cenderung menurun setelah penerapan ETLE, menandakan efek preventif yang positif.
Namun, kendala utama adalah ketidakakuratan identifikasi pelanggar, serta belum tersedianya mekanisme banding yang efektif bagi pemilik kendaraan yang bukan pelaku.
Jurnal tersebut juga mencatat bahwa kesadaran hukum masyarakat terhadap sistem ETLE masih rendah. Banyak pemilik kendaraan tidak tahu bagaimana cara menyanggah atau membuktikan bahwa mereka bukan pelaku.
REKOMENDASI PERBAIKAN
1. Peningkatan Mekanisme Klarifikasi Online
Membuka kanal digital yang cepat dan mudah untuk menyanggah pelanggaran, termasuk fitur unggah KTP/SIM pelaku aktual.
2. Integrasi Data Pengemudi dan Kendaraan
Menghubungkan data SIM dan STNK melalui teknologi biometrik atau AI untuk mengidentifikasi wajah pengemudi dari rekaman ETLE.
3. Revisi Regulasi dan Sosialisasi
Diperlukan payung hukum yang lebih eksplisit soal pembagian tanggung jawab hukum, serta sosialisasi masif tentang hak klarifikasi.
4. Pertanggungjawaban Kolektif Terbatas
Dalam kasus kendaraan korporasi atau keluarga, bisa diterapkan skema pertanggungjawaban terbatas dengan pembuktian terbalik secara administratif.
KESIMPULAN
ETLE adalah sistem progresif yang memberi warna baru dalam penegakan hukum lalu lintas berbasis teknologi. Namun, keberhasilannya tidak dapat diukur hanya dari menurunnya angka pelanggaran, tetapi juga dari keadilan dalam implementasinya. Identifikasi pelanggaran berbasis plat nomor kendaraan, tanpa mekanisme memadai untuk memverifikasi pelaku sesungguhnya, merupakan bentuk subjektivitas hukum yang bertentangan dengan prinsip due process of law.
Hukum seharusnya melindungi hak individu dari kesalahan atribusi, bukan mempercepat sanksi dengan mengorbankan keadilan prosedural. Oleh karena itu, revisi kebijakan, penguatan sistem klarifikasi, serta peningkatan partisipasi publik dalam sistem hukum adalah prasyarat mutlak untuk menjadikan ETLE tidak hanya canggih secara teknis, tetapi juga adil secara hukum. VB-PUTRA TRISNA.