
SERANG, (variabanten.com) – Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) hadir sebagai tonggak penting perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual. Tapi, semakin ke sini, Pasal 6 huruf c UU No. 12 Tahun 2022 justru mulai digunakan dengan cara yang tidak tepat sasaran.
Salah satu tren yang mengkhawatirkan: pasal ini digunakan sebagai alat menekan laki-laki yang tidak mau bertanggung jawab setelah pacarnya hamil.
Apa Bunyi Pasalnya?
Pasal 6 huruf c UU TPKS menyatakan:
“Setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul…” Sumber: BPK RI
Dari Instrumen Perlindungan, Menjadi Alat Kriminalisasi?
Kini muncul pola baru: hubungan suka sama suka yang menyebabkan kehamilan, tapi karena si laki-laki menolak menikah atau lepas tangan, justru dilaporkan ke polisi dengan dalih pasal ini.
Persetujuan awal atas hubungan intim tak lagi dianggap relevan. Ketika konflik terjadi, satu pihak mengklaim bahwa dirinya “diperdaya” atau dalam posisi “tergantung”, dan hukum pun dipanggil masuk.
Masalah Serius: Tafsir “Persetujuan” yang Kabur
Pasal 6 huruf c tak menjelaskan secara eksplisit batasan antara relasi suka sama suka dan relasi yang memanfaatkan kerentanan. Akibatnya, tafsir di lapangan sangat subyektif. Relasi pacaran, yang seringkali punya dinamika kompleks, bisa dengan mudah dianggap sebagai penyalahgunaan “kepercayaan” atau “ketergantungan”, apalagi jika berujung hamil dan konflik.
Padahal, asas legalitas dalam hukum pidana mengharuskan hukum dibuat dan diterapkan secara ketat dan pasti. Dalam hal ini, dua prinsip penting dilanggar:
• Asas Lex Certa: Setiap rumusan delik harus jelas dan tidak multitafsir. Frasa seperti “kerentanan”, “perbawa”, atau “penyesatan” dalam Pasal 6 huruf c mengandung unsur kabur (vague norms) dan rawan ditafsirkan semena-mena.
• Asas Lex Stricta: Hukum pidana tidak boleh diperluas atau dimaknai di luar teks aslinya (no analogical extension). Penggunaan pasal ini untuk relasi pacaran suka sama suka, tetapi kandas, merupakan bentuk penafsiran melebar dari maksud awal perlindungan korban kekerasan.
Banyak Laporan Bermula dari Relasi Suka Sama Suka.
Melansir dari laman LBH APIK, Dalam laporan tahunan 2023, LBH APIK Jakarta mencatat adanya laporan kekerasan seksual yang muncul karena relasi asmara yang gagal atau ditinggalkan setelah hamil. Ini menunjukkan bahwa pelaporan tidak selalu berangkat dari kekerasan nyata, tapi bisa jadi dari kekecewaan pribadi.
(Laporan LBH APIK 2023).
Jangan Jadikan Hukum Pidana Alat Emosi
Mengutip kata, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, mengingatkan: “Hukum pidana adalah ultimum remedium, bukan instrumen menyelesaikan relasi pribadi.” (diskusi ILRC UI 2023).
Jika digunakan sembarangan, hukum bisa menghukum orang yang sebenarnya tidak bersalah, hanya karena mereka gagal mempertanggungjawabkan hubungan.
Relasi Konsensual Tak Bisa Dipidana
Mengutip Yurisprudensi, Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1164 K/Pid.Sus/2018, seorang pria dibebaskan dari tuduhan pidana meskipun pacarnya hamil, karena terbukti hubungan dilakukan suka sama suka, tanpa unsur pemaksaan atau tipu daya.
(Baca Putusan di Direktori MA).
Hukum Harus Melindungi, Bukan Melukai
UU TPKS adalah lompatan besar dalam perlindungan korban kekerasan seksual. Tapi jika pasalnya tidak ditegaskan batasan tafsirnya, hukum bisa menjadi alat balas dendam emosional, terutama dalam kasus kehamilan di luar nikah.
Pasal 6 huruf c perlu tafsir resmi, agar tak menjadi senjata bagi pihak yang merasa ditinggalkan untuk menuntut tanggung jawab secara paksa lewat jalur pidana.
Relasi sosial yang gagal, harusnya diselesaikan secara sosial bukan selalu lewat vonis penjara.
Referensi:
1). UU TPKS – BPK RI
2). Putusan MA No. 1164 K/Pid.Sus/2018 – Direktori MA
3). Diskusi Prof. Harkristuti – YouTube ILRC UI
4). Laporan Tahunan – LBH APIK Jakarta 2023
VB-Sf.







kalau begitu jika ternyata memang yang terjadi seperti itu, bagaimana cara membuktikannya? Korban tidak mungkin bisa merekam adanya percakapan ataupun tipu muslihat sebelum melakukan hubungan seksual itu. Tapi bukankah dalam UU TPKS pernyataan dan persaksian korban sudah terhitung sebagai satu bukti?