Rapuhnya Iman, Runtuhnya Pernikahan, Oleh Margiono Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang Serang

SERANG, (variabanten.com) – Di tengah gemerlap modernitas dan hiruk- pikuk dunia digital, rumah tangga yang dahulu menjadi benteng kasih dan nilai kini kian rapuh. Data Badan Pusat Statistik( BPS) tahun 2024 mencatat, dari sekitar dua juta pernikahan yang tercatat di Indonesia, lebih dari 399 ribu berakhir di pengadilan agama. Angka ini bukan sekadar statistik kering, melainkan potret buram tentang lunturnya kesabaran dan memudarnya makna sakral pernikahan.

Fenomena ini mengisyaratkan adanya perubahan paradigma sosial yang mendalam. Perceraian tidak lagi dianggap sebagai jalan terakhir, tetapi sering dijadikan solusi instan ketika cinta diuji oleh realitas. Padahal, dalam perspektif filsafat hukum, sebagaimana dijelaskan Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum Suatu Pengantar ( 2000), hukum bukan sekadar kumpulan norma tertulis, melainkan sarana memanusiakan manusia.

Dalam konteks pernikahan, hukum semestinya menjadi pelindung nilai moral, keadilan, dan kemaslahatan bukan hanya wadah formal pengesahan hubungan dua insan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam( KHI), pernikahan disebut sebagai mitsaqan ghalizha, perjanjian suci yang menyatukan dua jiwa dalam tanggung jawab spiritual dan moral. Artinya, rumah tangga bukan sekadar kesepakatan administratif, tetapi ikatan batin yang menuntut kesabaran, keikhlasan, dan kedewasaan.

Pandangan klasik ini selaras dengan pemikiran Imam Al- Ghazali( 1058 – 1111 M) dalam Ihya’ Ulumuddin( 1096 M), yang menegaskan bahwa kebahagiaan sejati( as- sa‘adah al- haqiqiyyah) bukanlah harta, jabatan, atau kehormatan, melainkan hati yang bersyukur dan tenteram. Saat manusia kehilangan rasa syukur dan kesabaran, runtuhlah seluruh bangunan kebahagiaan, termasuk pernikahan.

Temuan ultramodern juga mendukung hal ini. Robert A. Emmons dan Michael E. McCullough dalam The Psychology of Gratitude( 2004) membuktikan bahwa rasa syukur menurunkan tingkat stres, memperkuat hubungan sosial, dan meningkatkan stabilitas emosional. Sains ultramodern, tanpa sadar, tengah mengafirmasi hikmah spiritual yang diajarkan agama berabad- abad silam.

Al- Qur’an pun menegaskan dalam QS. Al- Baqarah( 2) 155 – 157.

Sesungguhnya Allah akan menguji setiap manusia dengan berbagai cobaan rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, kehilangan jiwa, dan berkurangnya hasil bumi. Namun, berbahagialah orang-orang yang tetap sabar dalam menghadapi ujian itu, yaitu mereka yang berkata dengan penuh keikhlasan, “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali. Kepada merekalah Allah menurunkan kabar gembira melalui wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad ﷺ: “Wa basyiris shābirīn” Sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Ayat ini bukan hanya nasihat moral, melainkan terapi jiwa. Kesabaran adalah daya tahan spiritual yang menahan seseorang dari keputusan tergesa- gesa, termasuk saat konflik rumah tangga datang menghantam. Namun sayangnya, di period media sosial, banyak pasangan justru lebih memilih berdebat di ruang publik ketimbang bermuhasabah di ruang doa.

Krisis kesabaran ini berakar dari krisis spiritual yang lebih dalam. Generasi muda yang tumbuh di tengah budaya instan cenderung memandang pernikahan sebagai proyek kebahagiaan pribadi, bukan perjalanan membangun makna bersama. Ketika ekspektasi tak sejalan dengan realitas, perceraian seolah menjadi pilihan logis. Inilah penyakit hati yang digambarkan Al- Ghazali, ketika ego menjadi lebih besar dari cinta.

Membangun Kembali Fondasi Iman

Sudah saatnya perceraian tidak lagi dilihat sekadar sebagai isu hukum, melainkan gejala dari runtuhnya moral dan rapuhnya iman. Rumah tangga sejatinya tidak cukup hanya berdiri di atas akad dan dokumen negara, melainkan di atas dzikir, doa, dan kesadaran spiritual yang terus dijaga.

Hemat saya, rapuhnya iman adalah pangkal runtuhnya pernikahan ketika cinta kehilangan be arah dan kekerasan menggantikan kasih sayang; ketika kufur nikmat menggantikan sabar, maka yang tersenyum bahagia hanyalah jin Dasim, simbol keretakan rumah tangga dalam literatur klasik Islam.

Oleh karena itu, syukur, sabar, dan dzikir bukan sekadar ajaran agama, melainkan mekanisme keseimbangan jiwa yang fading manusiawi. Karena sejatinya, kebahagiaan bukan tujuan akhir, melainkan proses penyucian hati. Dan hanya hati yang bersyukur yang mampu menemukan cahaya dalam gelapnya ujian hidup.

VB-Sf.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *