Tangerang Selatan (Varia Banten) – Polemik Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Umum (PEMILU) 2024 Tanda Munculnya Pemerintahan Yang Otoriter. Oleh M. Aidil, S.H. (Profesional Mediator & Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pamulang, Banten).

Isu tersebut muncul dipermukaan lantaran pernyataan dari Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin). dalam wawancaranya, Cak Imin mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda dengan dalih perbaikan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Mantan Menaker itu khawatir jika Pemilu tetap digelar 2024 maka akan mengganggu stabilitas ekonomi. Semakin menguat setelah Ketum PAN Zulkifli Hasan, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum PBNU teriindikasi mendukung wacana tersebut. Usul penundaan Pemilu 2024 yang nantinya mengarah ke perpanjangan masa presiden menjadi tanda munculnya pemerintahan otoriter.

Tentunya Usulan tersebut menciderai amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) karena sudah jelas dalam pasal 7 menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Dan saya rasa usulan Cak Imin tidak memiliki landasan hukum yang kuat untuk terjadi. Kemudian posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah mengalami perubahan status dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara biasa dan MPR tidak dapat menunjuk pejabat presiden, juga tidak bisa memperpanjang masa jabatan presiden kita akan dihadapkan pada kesulitan konstitusional untuk melaksanakan keinginan politik. kalau dulu katanya presiden 3 periode kalau sekarang ini adalah perpanjangan masa jabatan presiden susah untuk mendapatkan landasan konstitusional.

Perubahan masa jabatan Presiden RI menjadi tiga periode sah-sah saja asal keputusan tersebut didasarkan pada kepentingan rakyat, membawa dampak yang baik bagi rakyat. Hal ini sebagaimana prinsip ‘salus populi suprema lex esto’. Bisa ditempuh secara konstitusional dengan mengAmandemen Undang-Undang Dasar 1945 oleh MPR sesuasi dengan pasal 37 UUD 1945. Artinya perubahan tersebut ditempuh dengan cara yang sah dan normal secara konstitusional dan MPR sebagai lembaga negara yang mencerminkan kedaulatan (souvereignty) milik rakyat, harus menentukan arah dan tujuannya pada rakyat, sesuai dengan fungsinya yakni merinci/menjabarkan/mengatur lebih lanjut dan menafsirkan ketentuan UUD 1945 untuk mengantisipasi kebutuhan pengaturan suatu hal oleh legislatif dalam bentuk UU atau oleh eksekutif dalam bentuk Perpu dan Keppres. Perubahan konstitusi di struktur, sistem dan proses bisa mengikuti kondisi yang ada, tapi fondasi dasar Pancasila NKRI yang terbentuk dalam itu dan tujuan kebangsaan kita, tidak mungkin diubah karena itu dasar kita Bersatu.

Meskipun MPR menyangkal dan memastikan pembahasan amandemen UUD 1945 hanya terbatas pada rencana penerapan lagi haluan negara yang bernama Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan Presiden (Joko Widodo) menyatakan tak memiliki niat untuk menambah masa jabatan menjadi 3 periode. Rencana amandemen UUD 1945 mesti tetap dikawal dan dikritisi karena tidak menutup kemungkinan penambahan periode masa jabatan presiden akan ikut dibahas. Tidak ada yang bisa menjamin penambahan periode masa jabatan presiden tidak akan dibahas saat pembahasan amandemen UUD 1945.

Jika amandemen UUD 1945 benar-benar dilakukan, maka amandemen pembatasan masa jabatan presiden selama tiga periode ini tentu akan menjadi konstitusional, tetapi secara etik belum tentu hal ini terjadi. Itu pun sulit untuk diupayakan karena tidak ada Urgensinya serta Wacana penundaan Pemilu tidak memiliki landasan hukum yang kuat, serta melupakan aspek yang paling fundamental dalam politik yang memerlukan syarat kedisiplinan dan ketaatan terhadap konstitusi. Salah satu yang rentan adalah Penyelewengan Kekuasaan. Kalau seseorang atau sekelompok, kita jangan hanya bayangkan Joko widodo, akan tetapi juga orang-orang di sekitarnya akan bertahan terlalu lama. Disaat seperti itu biasanya akan akan muncul penyalahgunaan kekuasaan, 15 tahun itu waktu yang sangat lama untuk sebuah pemerintahan.

Dalam Sejarah Indonesia, Presiden Soekarno salah satu orang yang mengusul pembatasan masa jabatan presidenpun tergoda atas keinginan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada saat itu. untuk menjadikannya sebagai presiden seumur hidup, dengan itu Soekarno bisa memimpin hingga lama sekali. Tentunya kita tidak menginginkan sejarah terulang kembali Indonesia dipimpin dengan gaya otoriter dan demokrasi seolah-olah sistem presidensial dibangun untuk memberi kesempatan kepada presiden menjadi raja. Padahal sistem yang ada di Indonesia saat ini tidak seperti itu.

Sejauh ini Pemerintah memang sudah angkat bicara mengenai isu tersebut, akan tetapi Jokowi tidak menolak dengan tegas usulan penundaan pemilu 2024, Beliau beranggapan bahwa usul tersebut merupakan bagian dari demokrasi. Menurut penulis, seharusnya Presiden Joko Widodo bisa menolak dengan tegas atau memberi pernyataan yang lebih tegas lagi terhadap wacana penundaan pemilu 2024 dan memerintahkan partai koalisinya untuk berhenti mewacanakan langkah yang tidak berdasarkan konstitusi/ bertentangan dengan undang-undang dasar tersebut. Tentunya tidak cukup untuk perkataan, tetapi juga tindakan, dimana misalnya Presiden bisa menyatakan agar penyelenggara pemilu agar dilakukan proses yang bisa memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 itu berlangsung sesuai amanat konstitusi. Supaya, pemikiran publik mengenai adanya andil istana dibalik munculnya isu tersebut bisa berakhir.(VB-BS).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © Varia Banten. All rights reserved. | Best view on Mobile Browser | ChromeNews by AF themes.